Sabtu, 19 Mac 2011

Mengenali Assassins Si Pembunuh Upahan



Silvester Stalone dan Antonio Banderas pernah terlibat baku tembak sebagai pembunuh bayaran dalam film Assasin.

Istilah Assasin sendiri memang sering dipakai dalam dunia gangster secara ekslusif. Dalam bahasa modernnya bisa juga disebut sebagai pembunuh bayaran. Walau berkembang dan besar di daratan Eropa dan bahkan Amerika, Assasin berawal dari tanah Arab.

Sebutan awalnya Hashyashyin. Lidah orang Barat menyebut “Assassins” seperti dalam catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini, pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut.

Sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di wilayah Persia.

Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut itu menulis:

“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga dua puluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng.

Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atau tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.”

Ketika bangun, para pemuda itu mendapati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda.

Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan. Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga.

Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.

“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya.

Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marco Polo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.

Freya Stark, seorang wartawati Ingegris berdarah campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya.

Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini, atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins.

Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik.

Judulnya “The Valley of the Assassins”. Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Ia berpedoman kepada literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.“Assassins itu sebuah sekte Parsi.

Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).

Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.

Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—ideology penyamarataan sosial.

Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.

Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang.

Mereka menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah),

Menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61)

Paparan Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan.

Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud.

Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.

Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda. membuat Kitab Perjanjian Baru yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat).

Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak. Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba.

Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih hidup.

Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran Kabbalah.

Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan Penyihir.

Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa AS dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya dari ketauhidan.

Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama Samiri. Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir.

Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).

Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.

“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb.

Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.

The Secret Garden atau Taman Rahsia yang terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas.

Ritual yang dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.(Bersambung/Rizki Ridyasmara) Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins.

Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.

Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah.

Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan.

Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal.

Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis.

Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.

Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal.

Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya.

Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk.

Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins hingga kini demikian melegenda dan diyakini masih terus ada.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan